Jakarta - Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Senin (12/7/2021). Membaiknya sentimen pelaku pasar membuat rupiah kembali bertenaga, apalagi dari dalam negeri, tanda-tanda penurunan kasus infeksi harian virus corona sudah mulai terlihat.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melesat 0,45% ke Rp 14.460/US$, melansir data Refintiv. Penguatan rupiah kemudian terpangkas hingga tersisa 0,24% tetapi masin mampu bertahan di bawah Rp 14.500/US$.
Membaiknya sentimen pelaku pasar sudah terlihat sejak Jumat lalu, dimana bursa saham Eropa menguat tajam, begitu juga bursa saham AS (Wall Street) yang mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Ketika sentimen pelaku pasar membaik, maka aliran investasi akan diarahkan ke negara emerging market yang memberikan imbal hasil tinggi. Hal tersebut juga didukung oleh merosotnya yield obligasi (Treasury) AS.
Pada Kamis pelan lalu, yield Treasury AS tenor 10 tahun sempat menyentuh level 1,25% yang merupakan level terendah sejak 16 Februari lalu, sebelum rebound di hari Jumat.
Turunya yield Treasury akan memberikan keuntungan bagi obligasi Indonesia (Surat Berharga Negara/SBN), sebab selisih yield-nya menjadi melebar. Pelaku pasar yang lebih berani mengambil risiko dengan imbal hasil yang tinggi tentunya akan mengalirkan modalnya ke pasar obligasi Indonesia.
Aliran modal ke pasar obligasi menjadi tenaga bagi rupiah untuk menguat.
Sementara itu dari dalam negeri, dalam 2 hari terakhir penambahan kasus Covid-19 di Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan, meski masih tinggi. Kemarin, kasus baru dilaporkan sebanyak 36.197 orang, dan sehari sebelumnya 35.094 orang. Angka tersebut turun dari Kamis dan Jumat yang penambahannya lebih dari 38 ribu orang per hari.
Di pekan ini akan bisa menunjukkan gambaran apakah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat mampu menurunkan angka infeksi harian.
PPKM Mikro Darurat mulai diterapkan sejak 3 Juli lalu, dan berlangsung hingga 20 Juli. Perlu waktu sekitar seminggu setelah penerapan untuk mengetahui apakah efektif, mengingat ada masa inkubasi virus corona.
Jika penambahan kasus harian terus menunjukkan tren penurunan, rupiah tentunya akan mendapat sentimen positif.
Meski demikian patut diwaspadai kebangkitan dolar AS, sebab data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) pada Jumat lalu menunjukkan para spekulator mengurangi posisi jual dolar AS mereka. Artinya, para spekulator mulai melihat tanda-tanda dolar AS menguat.
Data yang dirilis CFTC menunjukkan posisi net short (jual bersih) dolar AS pada pekan yang berakhir 6 Juli sebesar US$ 8,3 miliar, turun dari pekan sebelumnya US$ 10,44 miliar, dan berada di level terendah sejak akhir April.
CFTC juga melaporkan, posisi net short tersebut sudah menurun dalam 3 pekan beruntun.
Pelaku pasar menanti rilis data inflasi di AS pekan ini untuk melihat prospek tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) bisa dilakukan tahun ini atau tidak oleh bank sentral AS (The Fed). Ketika tapering dilakukan tahun ini, maka suku bunga di AS bisa naik tahun depan.
"Jika kita melihat data yang kuat, The Fed akan memajukan proyeksi mereka untuk menaikkan suku bunga dari saat ini di tahun 2023. Itu berarti tapering harus melakukan tapering lebih cepat," kata Shinichiro Kadota, ahli strategi mata uang di Barclays, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (12/7/2021).
AS akan merilis data inflasi berdasarkan Consumer Price Index (CPI) pada Selasa besok. Data ini bisa memberikan gambaran data inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) yang dirilis belakangan, dan yang menjadi acuan The Fed.
Data terbaru bahkan menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.